Dinding-dinding

558021d024a9d5005c8b4567 sumber gambar

Kau tahu kawan, manusia modern itu adalah sekumpulan orang yang terkurung dalam bilik berukur satu kali satu meter. Semakin modern manusia, ia akan terjerumus dalam bilik dengan dinding yang makin sempit. Sumpek, mepet, dan ketat!

Sialnya, aku adalah salah satu jenis manusia yang mengaku modern itu! Manusia yang terjebak dalam dinding-dinding tanpa pintu dan jendela.

Dulu—duluuuu sekali kala hidupku masih jauh dari peradaban, duniaku justru tak berbatas. Kala belum ada barang-barang berlabel ‘pintar’ beredar. Bahkan untuk menonton televisi dengan tayangan yang itu-itu saja, aku harus menunggu aki yang diisi ulang di ‘negara’ tetangga selama dua hari. Ah ya, kalian kan manusia modern. Mana tahu benda yang dulu kusebut aki. Aki bukan kakek-kakek. Aki itu accu, sumber listrik untuk televisi jadul yang gagal diet. *plak!*

Dulu itu duniaku masih indah sekali. Sungguh. Sekalipun aku tidak pernah melakukan perjalanan ala ‘My Trip My Adventure’ dan kawan-kawannya. Aku tidak pernah merasa frustrasi, meski aku tak memegang hape pintar dan meributkan jaringan serta batere lowbat. Aku lebih sering merasa bahagia, meski tak punya dompet, bahkan dengan saku yang selalu kosong.

Sungguh, kebahagiaan DULU terasa begitu sederhana.

Hei, kau pasti berpikir aku tipikal orang yang sulit move on. Atau bahkan berpikir kalau otakku mulai terjepit dan aku mulai stress dengan mengocehkan hal-hal tak penting. Cukup! Kalian benar kok.

Kenyataannnya, otakku belakangan terasa sempit sekali. Seiring bertambahnya usia, seiring berubahnya zaman, dinding-dinding besar mulai bertambah tinggi. Persis seperti Jakarta abad ini. Penuh gedung pencakar langit, gerah, panas, dan macet. Ya, otakku seakan mandeg. Tidak bisa lagi membuat hormon pembuat kebahagiaan dengan kilat.

Padahal dulu, aku bisa mendapat kebahagiaan dengan begitu mudah. Kebahagiaan primitif, namun kenangannya tak bisa sirna hingga kini.

Usiaku baru enam tahun kala aku menemukannya. Sebuah harta karun yang sangat berharga. Tolong jangan berpikir itu adalah setumpuk emas, rumah megah, arca purba dan sebangsannya. Dulu aku belum mengenal batasan semacam itu untuk kata “berharga”.

Yang kutemukan itu, hanya sebuah tempat—ah bukan, lebih tepatnya sebuah genangan air yang hanya muncul sesusai hujan. Dari sekumpulan air di atap yang jatuh bersamaan dalam jumlah besar. Genangan itu berbentuk elips tidak sempurna berdinding tanah yang dipenuhi lumut dan kerikil serta batu seukuran kepalan tangan.

Setelah hujan reda, aku pasti bergegas keluar rumah menuju genangan itu. Bahkan jika gerimis masih turun, dan kabut tebal menyelimuti, aku merasa lebih senang. Aku segera menyibukan diri di bibir genangan air yang airnya sangat jernih itu dengan beragam perlengkapan: kayu, batu, tanah, pasir, dan bunga. Lalu kubangun sebuah istana dan keluarga bahagia. Bibir genangan yang bagi orang terlihat seperti sampah, saat itu berubah lebih indah dari pantai di pulau Bali, Lombok, atau bahkan Hawaii.

Air jernih di genangan yang menampilkan pantulan pasir sisa bangunan rumah dan kerikil serta lumut, berubah menjadi lebih menakjubkan dari Bunaken, Raja Ampat, bahkan Barracuda. Dan liburanku aku terus berlanjut hingga ibu datang, menyeretku pulang dalam kondisi yang sudah basah kuyup. Aku tidak marah, tentu. Aku sangat bahagia, seakan baru pulang liburan ke tempat yang sangat indah.

Sayang sekali, kini aku tidak pernah lagi menemukan genangan itu. Mataku terfokus pada dinding-dinding yang telah kubangun tanpa sadar dalam waktu enam tahun, ditambah tiga tahun, ditambah tiga tahun lagi, lalu makin sempurna dengan tambahan tahun berikutnya.

Ah, aku rindu kebahagian sesegar udara selepas hujan itu. Kapan aku menemukannya kembali?